Mungkinkah sebuah perhelatan ujian yang melibatkan ribuan siswa dapat dilaksanakan nyaris tanpa uang? Alhamdulillah,
selama lebih 85 tahun perjalanannya dalam jihad pendidikan, Gontor
dapat melakukannya. Kami bersyukur ‘sunnah’ Gontor seperti ini masih
dapat dipertahankan dengan baik hingga saat ini.
Semua proses dan kegiatan yang terkait ujian di Gontor tidak ada yang
diperhitungkan dengan uang. Mulai dari tenaga, pikiran, membuat soal,
menguji ujian syafahi (lisan), mengawasi ujian tahriri (tulisan), mengoreksi, dan lain sebagainya. Semua itu tidak terkait dengan uang. Para pelaksananya tidak dibayar dengan uang.
Mengapa bisa? Sejak Gontor berdiri hingga sekarang, ada nilai-nilai
luhur yang ditanam dan terus dipertahankan sebagai jiwa Gontor, salah
satunya keikhlasan. Memang, keikhlasan tidak bertolak belakang dengan
uang (bayaran). Akan tetapi, dengan keikhlasan yang menjiwai setiap
kegiatan, uang tidak menjadi penentu terlaksananya suatu program atau
kegiatan sepenting ujian.
Keikhlasan model Gontor ini tidak hanya berlaku untuk panitia dan
penyelenggara ujian, yang melibatkan seluruh guru dan santri senior.
Tapi juga berlaku untuk seluruh jajaran direksi dan pimpinan Pondok
Modern Gontor. Tidak ada Kyai yang menerima uang pelaksanaan ujian, atau
semisalnya. Keikhlasan seperti itulah yang membuat penyelenggaraan
ujian menjadi sukses dan semua pihak yang terlibat merasa nyaman dan
ringan.
Di luar Gontor, budaya keikhlasan seperti ini barangkali sulit
dibayangkan. Apalagi di tengah arus budaya materialistik, ujian bisa
dipandang sebagai ladang untuk memanen penghasilan tambahan. Sukses karena ikhlas dan jujur
Ujian yang sukses adalah paduan dari keikhlasan dan kejujuran. Bagi
Gontor, kejujuran dalam ujian merupakan prinsip dasar yang harus
ditegakkan. Di saat pendidikan nasional kita ternoda dengan kasus
seperti pembocoran soal ujian, Gontor sama sekali tidak mengenal kasus
seperti itu. Gontor sangat tegas, jika terjadi pembocoran soal, maka
pelakunya pasti kita usir dari Pondok. Jika ada santri yang menyontek,
maka dia pasti kita usir dari Pondok. Alhamdulillah, kejujuran para guru dan santri di Gontor
berjalan dengan lurus. Santri yang diuji belajar menurut kemampuannya,
sehingga nilai yang dia dapat pun sesuai dengan kemampuan dirinya dalam
menjawab soal-soal ujian. Nilai di Gontor asli. Tidak ada rekayasa,
tidak ada tambahan, dan tidak ada pengurangan. Karenanya, fenomena
santri yang lulus dan tidak lulus adalah biasa di Gontor.
Ada pesan yang sangat berat dari Rasulullah SAW kepada kita, termasuk dalam memberi nilai ujian kepada siswa, “Fa’thi kulla dzi haqqin haqqah”
(berilah setiap orang sesuai hak yang harus didapatkannya). Artinya,
penambahan atau –jika ada—pengurangan nilai ujian siswa adalah tindak
kezaliman dan melanggar pesan Rasulullah SAW.
Kami justru heran bila dalam suatu ujian, kelulusan siswa mencapai
100 %. Padahal dalam faktanya itu tidak mungkin terjadi. Lagi pula
fungsi ujian itu adalah untuk menyeleksi kesungguhan dan kemampuan siswa
dalam belajar, yang sudah barang tentu tidak mungkin sama. Allah
menyatakan dalam al-Qur’an, surah Aal `Imran ayat 179, “Hatta yamiza al-khabits minat thayyib”(hingga Dia memisahkan unsur buruk dari usur baik)
Banyak faktor yang dapat mendorong fenomena ini terjadi. Tapi pada
intinya, pendidikan masa kini telah kehilangan jiwa dan arah. Bisa kita
lihat ketika banyak siswa yang memprotes sekolah karena dinyatakan tidak
lulus ujian, atau orang tua yang berdemo karena hal yang sama, atau
karena faktor sekolah sendiri yang takut kehilangan murid jika tidak
meluluskan mereka. Alhamdulillah, semua itu tidak terjadi di Gontor.
Mempertahankan keikhlasan dan kejujuran, serta menerapkannya tidaklah
mudah. Butuh pembiasaan keikhlasan dan kejujuran secara terus menerus,
tanpa lelah, dalam setiap gerak aktivitas Pondok. Walhasil, ujian di
Gontor bisa berjalan sesuai dengan fitrahnya. Kita harus bisa berbuat
lebih baik daripada orang lain. Jika orang lain tidak dapat
menyelenggarakan ujian tanpa uang, kita harus dapat menyelenggarakannya
tanpa perhitungan uang. Jika orang lain melakukan kecurangan dalam
ujian, kita harus menerapkan kejujuran dalam ujian. Alhamdulillah, di Gontor, beberapa hal yang sulit dilaksanakan
di luar menjadi niscaya, bahkan menjadi rutinitas dan budaya. Semua ini
patut kita syukuri. Ingat kata Pak Zar (Alm. KH Imam Zarkasyi, red.),
“Biar dunia luar ‘terbakar’, tetapi pondok kita jangan ikut-ikutan
dunia luar, seperti mencontek, berlaku curang, tidak ada keikhlasan, dan
tidak ada kejujuran.”
0 komentar:
Posting Komentar