KH. Zainuddin Fananie
Pendiri Pondok Modern Gontor (23 Desember 1908-21 Juli 1967)
Bahasa persatuan yang terkandung dalam Islam adalah persatuan dalam
arti seluas-luasnya. Karena, dasar persatuan Islam, sekali-kali tidak
memakai cara pandang ras dan kulit, kaya-miskin, rakyat jelata-ningrat,
dan lain-lain.
Asalkan bernaung dibawah panji-panji kalimat syahadat, itu akan
menjadi saudara dunia akhirat. “Tegak sama tinggi, duduk sama rendah.”
Jika sudah menjadi saudara, selayaknya menepati hak-hak bersaudara,
dengan tidak membedakan satu sama lain.
Sedikit perbandingan. Jika ada orang negeri ini berjumpa dengan warga
negara asing, yang diperkenalkan pertama kali pastilah nama dan asal
negaranya. Tetapi, jika umat Islam berjumpa dengan saudara seagamanya,
kebahagiaan dan keselamatan yang terlebih dahulu dikemukakan adalah
mengucapkan salam.
Dalam sebuah hadis dijelaskan, //“Tak akan kamu masuk surga
sebelum kamu beriman. Dan tak akan kamu beriman sebelum kamu
berkasih-kasihan. Maukah aku tunjukkan kepadamu satu perkara yang
apabila kamu kerjakan niscaya kamu berkasih-kasihan? Yaitu tebarlah
salam di antara kamu.”// (HR Muslim)
Begitulah Islam yang senantiasa mendidik, memimpin, mengajari, dan
membawa ke arah persatuan dan perdamaian dunia yang lurus tegak dan
suci.
Sayangnya, keadaan umat Islam dewasa ini sangat menyedihkan hati.
Betapa tidak, tali persaudaraan Islam yang paling kuat, benteng
persatuan yang paling kokoh, kini seakan telah putus dan pecah. Buktinya
telah tampak di depan mata. Kebanyakan umat Islam bermegah-megahan atas
keturunan, kesenangan, kekayaan, kealiman, kesahajaannya, dan
lain-lain. Padahal, bermegah-megahan itu pantangan besar dalam Islam.
Karena semangat persatuan suci yang hilang itulah, yang akan menjadi
satu-satunya penyebab jelas menjauhkan kita dari pintu kemajuan.
Sekurang-kurangnya, melambatkan kita mencapai cita-cita yang mulia.
Sedikit contoh, bangsa Indonesia yang para pemimpin dan yang
dipimpinnya mengaku sebagai putra Islam, namun sudah lebih setengah abad
bergerak, belum tampak sedikitpun bukti persatuan yang memuaskan untuk
mengangkat derajat bangsa dan tanah airnya. Jangankan memuaskan,
antarpara pemimpin dan ketua, masih selalu bertengkar dan berselisih.
Saling meninggikan pengaruh dan membenci satu sama lain.
Kalaulah kita tilik dengan teropong kesucian, dan kita timbang dengan
neraca keikhlasan, maka tampak bahwa mereka hanya menuruti hawa nafsu.
Mereka terkena penyakit tidak ikhlas dan bermegah-megahan. Teringat kata
peribahasa, ”Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.”
Apa boleh buat, jika kejadiannya seperti itu, rasanya bawahan akan
tambah buruk dari keadaan pimpinannya. Jika para pemimpin saling
bermusuhan, bagaimana nasib rakyatnya?
Teranglah bagi putera-puteri betapa jauhnya semangat persatuan Islam
dengan umatnya. Rasa sesal sekarang tak berguna lagi. Sekarang tinggal
kita serahkan ke tangan para putra-putri. Ajak dan ajarilah bangsamu ke
arah persatuan yang suci.
Kembalikan segala persatuan ke arah persatuan yang dianjurkan Islam.
Yaitu semangat persatuan yang bukan hanya semangat bersatu yang harumnya
di atas podium, seperti kilat, dan sudah padam kembali saat turun dari
podium. Tapi semangat persatuan zhahir dan batin, hingga menimbulkan
amalan dan keyakinan menuju kemuliaan bangsa dan agama.
Korbankanlah tenaga dan pikiranmu, wahai putra-putriku. Tampakkanlah keikhlasanmu. Dan berjasalah demi bangsa dan agamamu.
0 komentar:
Posting Komentar