DR KH Abdullah Syukri Zarkasyi MA
Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor
![Menghargai Pengalaman](http://majalahgontor.net/wp-content/uploads/2014/07/kiai-syukri.jpg)
Dalam prosesnya, pendidikan pengalaman ini mutlak memerlukan al-`idad (persiapan), baik i`dad zady (bekal terbaik) maupun i`dad maddy (materi). Di sini, para guru diajarkan agar setiap hendak keluar rumah selalu mengawali dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim.
Guru mesti membaca doa. Meski tampak sederhana, fenomena ini jarang
berlaku di lembaga pendidikan umum. Kebanyakan guru di lembaga-lembaga
umum hanya merasa melaksanakan tugas untuk mendapatkan gaji, sehingga
aspek materialismenya kental sekali.
Di Gontor, guru-guru mengajar dengan dua persiapan; pertama, i’dad zady, yaitu sebaik-baik bekal adalah takwa. Kedua, i’dad maddy, yakni menguasai materi yang akan diajarkan, menguasai keadaan murid di kelas, dan mata guru awas dalam mengajar.
Pengalaman demi pengalaman akan dirasakan. Ada murid nakal dan ada
juga murid yang tidak mengerti pelajaran yang diajarkan. Semua itu akan
membentuk pengalaman tersendiri bagi guru. Kenapa murid tidak masuk
kelas? Kenapa pelajaran tidak dimengerti oleh murid? Apa saya salah?
Apakah murid tersebut butuh motivasi?
Guru memotivasi murid yang seperti itu agar dia punya motivasi yang
kuat dalam belajar. Sehingga, dia mau mendengarkan dengan baik dan
belajar dengan sungguh-sungguh. Di sini dapat ditarik kesimpulan
sederhana, bahwa sebetulnya jika suatu pendidikan tidak berjalan dengan
benar, berarti yang salah adalah guru. Guru tidak dibenarkan berkata
tidak mampu mengajar dan mendidik. Karena yang tidak mampu adalah
pengecut, tidak berani menangani, tidak punya keinginan menangani dan
bersikap masa bodoh.
Mendidik itu membiasakan. Mendidik itu mengajar, memberikan tugas,
dan membiasakan diri melatih. Melatih belajar dan cara belajar dengan
penuh kesabaran. Jika ada murid yang sulit menghafal dan tidak faham,
maka guru mesti mengajarinya sedikit demi sedikit. Guru mesti memberi
tahu murid tersebut agar membaca yang ingin dihafal sebanyak mungkin,
meski sampai 40 kali, niscaya dia akan hafal. Begitu juga memahami
pelajaran, Muthala’ah misalnya, dengan membaca hingga 40 kali
maka niscaya ia faham. Kadang-kadang pemahaman didapat dengan sering
membaca. Ketika masih belajar di Mesir, saya menemukan sebuah kata yang
awalnya tidak saya fahami, namun karena sering membacanya akhirnya saya
faham arti kata itu.
Mendidik adalah ‘menyetrum’. Saya berbicara dengan hati bukan dengan
mulut. ‘Menyetrum’ guru supaya memahami pondok, memahami pimpinan,
memahami apa yang dibicarakan pimipinan, dan kalau bisa mengamalkannya.
Efek ’struman’ ini tidak sama, ada yang kuat dan ada pula yang lemah.
Sebab, manusia itu bermacam-macam. Ada yang seperti batu keras dan tidak
mau mengerti. Ada juga yang laksana tanah subur kemudian faham apa yang
diajarkan kepadanya, sehingga ia menumbuhkan pohon dan menghasilkan
buah. Dan ada pula yang seperti pohon tertentu yang sulit dimana baru
puluhan tahun baru faham.
Sebagai pimpinan Pondok, saya menentukan dan memilih guru.
Mudah-mudahan saya tidak salah pilih. Mereka yang terpilih menjadi guru
di Gontor bukan karena semata-mata lulus dengan predikat mumtaz (memuaskan). Belum tentu yang mumtaz saya pilih. Kadang yang mumtaz
egonya tinggi sekali. Tapi yang saya pilih adalah mereka yang memiliki
jiwa kemasyarakatan, bisa mendidik, bisa menimbang kawan, dan tidak
egois. Sebab, dalam mendidik diperlukan banyak pengorbanan, banyak
kesabaran, dan ketekunan. Jadi saya mencari santri-santri yang tekun dan
guru-guru yang tekun. Dari sinilah sebuah pengalaman dan pendidikan
kemasyarakatan, serta pendidikan hidup, kita didikkan kepada
santri-santri dan guru-guru. Dengan harapan agar mereka menjadi guru
yang hebat, sehingga terjadilah proses kaderisasi yang sesungguhnya.
0 komentar:
Posting Komentar