Breaking News

Senin, 20 April 2015

Makna Belajar dan Berjuang

By on 19.15
Suatu hari, teman saya yang ditugaskan sebagai Penjaga Toko Foto Copy KUK memberikan laporan bersama-sama dengan para Ustadz yang ditugaskan di Toko Besi, dan Toko Kelontong KUK. Pada saat itu dia mendapat giliran ketiga karena memang Toko Foto Copy sedikit sekali yang dilaporkan, karena memang laba yang diperoleh juga sedikit. Begitu mendengar laporan teman saya, KH Syukri Zarkasyi mengatakan :
“Kamu untung sedikti? Laba sedikit? Biarin, bahkan kalau sampai KUK Foto Copy itu Rugi sekalipun, itu biar saja. Yang penting kamu mau belajar. Belajar tanggung jawab, belajar berfikir, belajar bagaimana membesarkan dan mempertahankan KUK Foto Copy itu, belajar dan tahu bagaimana menjaga harga, mengerti dan faham bagaimana menjaga pembeli, mengetahui bagaimana kok bisa bangkrut misalnya, ini semua kalian lakukan ditengah kesibukan kalian mengajar, kuliah, dan membantu pimpinan pondok. Dan kalian ikhlas melakukannya tanpa dibayar, tanpa ada gaji sama sekali, maka dengan laporan ini saja saya sudah bersyukur. Yang penting kalian mau dan bersedia untuk belajar….!!”
Saya tercenung mendengar cerita teman saya itu. Lalu berfikir, bahwa ternyata justru dengan keikhlasan ini teman-teman malah tidak merasakan pekerjaannya berat. Mereka masih bisa tersenyum bahkan bercanda. Masih bisa muwajjah (belajar malam) bersama para santri, masih bisa ngisi setoran Hafalan Al-quran para santri, masih mendengarkan curhatan anak-anaknya, padahal pekerjaan mereka di pos-pos ekonomi pesantren itu luar biasa beratnya. Membandingkan dengan bagaimana sebuah pesantren yang ngaku Alumni Gontor dikelola, jaga toko digaji sekian, ngawas muhadoroh (latihan pidato) digaji sekian, Jadi pengawas Bahasa digaji lagi sekian, jaga Koperasi dibayar lagi sekian. Jaga Wisma pesantren digaji juga sekian, mengkursus computer di bayar lagi sekian. Semua dikelola oleh Guru sampai ngawasin anak-anak ke Masjid sekalipun, karena semua itu dibayar. Sehingga organisasi Santrinya mati. Tidak berdaya, sehingga para santrinya Justru kehilangan kesempatan untuk berkarya. Padahal mereka SETIAP TAHUN study tour ke Gontor….Entahlah, dapat apa mereka dari Study Tour itu.

Keteladanan

By on 17.48
KeteladananKH Hasan Abdullah Sahal Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor Setiap orang memiliki pandangan hidup, pegangan hidup, pola dan kepribadian masing-masing. Semua itu merupakan privasi yang tidak ada hak bagi siapa pun untuk mengintervensi atau memaksakan kehendak dirinya kepada orang lain. Bagi kita, sebagai seorang Muslim, filsafat hidup, pegangan hidup, dan pandangan hidup kita adalah syahadatain. Asyhadu an la ilaa illa allahu wa asyhadu anna muhammadan rasulullah (aku bersaksi tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan aku bersaksi Muhammad adalah utusan Allah). Dua kalimat syahadat ini harus kita pegang dengan teguh dan pertahankan dengan baik-baik. Implementasinya harus tampak pada tingkah laku dan kesetiaan atau loyalitas kita semua (kepada Allah), sehingga dalam melakukan segala sesuatu senantiasa berdasarkan dua kalimat syahadat tersebut. Jadi untuk menjalankan fungsi, mendidik anak, mendidik murid, apapun yang kita lakukan, harus selalu didasarkan pada syahadatain, karena hanya dua kalimat inilah yang menjadi pandangan hidup, filsafat hidup dan pegangan hidup kita semua.

Orang terkadang lain yang dia katakan, lain pula yang dia kerjakan. Banyak orang yang mengatakan ‘ini harus lurus’, tetapi dalam perbuatannya tidak lurus. Ini banyak sekali terjadi dalam kehidupan di sekeliling kita. Jika seorang pemimpin memiliki sifat seperti itu, maka orang banyak tidak akan lagi percaya padanya. Mereka tidak mau lagi menerima atau mau melaksanakan tugas darinya. Ucapan pemimpin seperti itu tidak lagi berwibawa dan ditaati bawahannya. Semua itu terjadi karena yang berbicara tidak setia pada apa yang dia bicarakan kepada orang lain. Bahkan, ia tidak setia pada dirinya sendiri. Dulu, ada suatu kisah tentang seorang yang kaya, dermawan, dan kebetulan mempunyai rujukan seorang ulama, yang ternyata ulama itu tidak seperti yang dia perkirakan. Ulama itu mempunyai penyakit keduniaan, tamak keduniaan, sehingga ia selalu memperhitungkan ilmunya dengan harta. Hingga pada suatu ketika, orang dermawan dan hartawan tadi terpaksa mengatakan kata-kata yang keras dan tidak mengenakkan dihadapan ulama ini, “Aku menyayangimu, wahai ulama, karena ilmumu. Aku menghormatimu karena ilmumu. Dan aku menghargaimu karena ilmumu. Akan tetapi karena kamu tidak menghargai ilmumu sendiri, maka aku tetap menghargai ilmumu, tetapi sudah tidak menghargai dirimu lagi.” Inilah kata-kata yang dikeluarkan oleh orang hartawan dan dermawan tadi, terhadap ulama yang mempunyai penyakit dunia dan keduniaan. Maka bagaimana mungkin orang mau percaya, taat, dan setia terhadap ulama semacam ini, kalau dia sendiri tidak setia kepada ilmunya sendiri, kepada pribadinya sendiri. Maka dari itu, kita ingatkan, setiap manusia, dalam menjalankan pandangan dan jalan hidup ini, memang akan selalu menghadapi berbagai macam hal yang membuatnya harus terus mempertahankan pegangan hidup ini. Akan tetapi ingatlah, bahwa sekuat kita mempertahankan jalan hidup kita, sekuat itu pula orang akan taat kepada kita. Ingat, tidak ada kedisiplinan tanpa keteladanan, dan tidak ada kemajuan tanpa kedisiplinan. Maka untuk maju kedepan, untuk menjadi orang yang bisa menjalankan misinya, bisa meluruskan cita-citanya, kita harus berdisiplin. Dan orang akan berdisiplin bila ada keteladanan. Sudah saya ingatkan dari awal, bahwa keteladanan adalah awal dari segalanya, yang pada akhir-akhir ini sudah mulai hilang dari dunia, terutama dari barisan dan kalangan kita sendiri.

Sukses Ujian dengan Ikhlas dan Jujur

By on 17.45

KH Syamsul Hadi Abdan SAg

Sukses Ujian dengan Ikhlas dan JujurMungkinkah sebuah perhelatan ujian yang melibatkan ribuan siswa dapat dilaksanakan nyaris tanpa uang? Alhamdulillah, selama lebih 85 tahun perjalanannya dalam jihad pendidikan, Gontor dapat melakukannya. Kami bersyukur ‘sunnah’ Gontor seperti ini masih dapat dipertahankan dengan baik hingga saat ini.
Semua proses dan kegiatan yang terkait ujian di Gontor tidak ada yang diperhitungkan dengan uang. Mulai dari tenaga, pikiran, membuat soal, menguji ujian syafahi (lisan), mengawasi ujian tahriri (tulisan), mengoreksi, dan lain sebagainya. Semua itu tidak terkait dengan uang. Para pelaksananya tidak dibayar dengan uang.

Mengapa bisa? Sejak Gontor berdiri hingga sekarang, ada nilai-nilai luhur yang ditanam dan terus dipertahankan sebagai jiwa Gontor, salah satunya keikhlasan. Memang, keikhlasan tidak bertolak belakang dengan uang (bayaran). Akan tetapi, dengan keikhlasan yang menjiwai setiap kegiatan, uang tidak menjadi penentu terlaksananya suatu program atau kegiatan sepenting ujian.
Keikhlasan model Gontor ini tidak hanya berlaku untuk panitia dan penyelenggara ujian, yang melibatkan seluruh guru dan santri senior. Tapi juga berlaku untuk seluruh jajaran direksi dan pimpinan Pondok Modern Gontor. Tidak ada Kyai yang menerima uang pelaksanaan ujian, atau semisalnya. Keikhlasan seperti itulah yang membuat penyelenggaraan ujian menjadi sukses dan semua pihak yang terlibat merasa nyaman dan ringan.
Di luar Gontor, budaya keikhlasan seperti ini barangkali sulit dibayangkan. Apalagi di tengah arus budaya materialistik, ujian bisa dipandang sebagai ladang untuk memanen penghasilan tambahan.
Sukses karena ikhlas dan jujur
Ujian yang sukses adalah paduan dari keikhlasan dan kejujuran. Bagi Gontor, kejujuran dalam ujian merupakan prinsip dasar yang harus ditegakkan. Di saat pendidikan nasional kita ternoda dengan kasus seperti pembocoran soal ujian, Gontor sama sekali tidak mengenal kasus seperti itu. Gontor sangat tegas, jika terjadi pembocoran soal, maka pelakunya pasti kita usir dari Pondok. Jika ada santri yang menyontek, maka dia pasti kita usir dari Pondok.
Alhamdulillah, kejujuran para guru dan santri di Gontor berjalan dengan lurus. Santri yang diuji belajar menurut kemampuannya, sehingga nilai yang dia dapat pun sesuai dengan kemampuan dirinya dalam menjawab soal-soal ujian. Nilai di Gontor asli. Tidak ada rekayasa, tidak ada tambahan, dan tidak ada pengurangan. Karenanya, fenomena santri yang lulus dan tidak lulus adalah biasa di Gontor.
Ada pesan yang sangat berat dari Rasulullah SAW kepada kita, termasuk dalam memberi nilai ujian kepada siswa, “Fa’thi kulla dzi haqqin haqqah” (berilah setiap orang sesuai hak yang harus didapatkannya). Artinya, penambahan atau –jika ada—pengurangan nilai ujian siswa adalah tindak kezaliman dan melanggar pesan Rasulullah SAW.
Kami justru heran bila dalam suatu ujian, kelulusan siswa mencapai 100 %. Padahal dalam faktanya itu tidak mungkin terjadi. Lagi pula fungsi ujian itu adalah untuk menyeleksi kesungguhan dan kemampuan siswa dalam belajar, yang sudah barang tentu tidak mungkin sama. Allah menyatakan dalam al-Qur’an, surah Aal `Imran ayat 179, “Hatta yamiza al-khabits minat thayyib”(hingga Dia memisahkan unsur buruk dari usur baik)
Banyak faktor yang dapat mendorong fenomena ini terjadi. Tapi pada intinya, pendidikan masa kini telah kehilangan jiwa dan arah. Bisa kita lihat ketika banyak siswa yang memprotes sekolah karena dinyatakan tidak lulus ujian, atau orang tua yang berdemo karena hal yang sama, atau karena faktor sekolah sendiri yang takut kehilangan murid jika tidak meluluskan mereka. Alhamdulillah, semua itu tidak terjadi di Gontor.
Mempertahankan keikhlasan dan kejujuran, serta menerapkannya tidaklah mudah. Butuh pembiasaan keikhlasan dan kejujuran secara terus menerus, tanpa lelah, dalam setiap gerak aktivitas Pondok. Walhasil, ujian di Gontor bisa berjalan sesuai dengan fitrahnya. Kita harus bisa berbuat lebih baik daripada orang lain. Jika orang lain tidak dapat menyelenggarakan ujian tanpa uang, kita harus dapat menyelenggarakannya tanpa perhitungan uang. Jika orang lain melakukan kecurangan dalam ujian, kita harus menerapkan kejujuran dalam ujian.
Alhamdulillah, di Gontor, beberapa hal yang sulit dilaksanakan di luar menjadi niscaya, bahkan menjadi rutinitas dan budaya. Semua ini patut kita syukuri. Ingat kata Pak Zar (Alm. KH Imam Zarkasyi, red.), “Biar dunia luar ‘terbakar’, tetapi pondok kita jangan ikut-ikutan dunia luar, seperti mencontek, berlaku curang, tidak ada keikhlasan, dan tidak ada kejujuran.”

Jujur Dalam Mengoreksi Jawaban Ujian

By on 17.42
KH Syamsul Hadi Abdan SAg
Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor

Jujur Dalam Mengoreksi  Jawaban UjianSetiap habis ujian, tugas ter­berat guru adalah mengoreksi jawaban. Dahulu setiap awal ujian tahriri atau tulis, Direktur KMI memperingatkan cara-cara koreksi. Semua guru-guru akan diuji terlebih dulu, bagaimana dia mengkoreksi. Prinsip paling penting dalam mengkoreksi adalah A’thi kulla dzi haqqin haqqahu, yaitu berikanlah kepada yang berhak sesuai haknya. Kita harus memberikan hak siswa se­bagaimana hasil jawabannya. Untuk itu kita harus jujur, apa adanya. Pondok adalah alam kejujuran, maka saat mengoreksi hasil ujian guru harus tekun dan jujur.
Mungkin ada yang merasa bahwa mengkoreksi itu membosankan. Namun itu adalah tanggung jawab seorang guru. Selain mengajar, guru juga harus mengoreksi, karena itu terkait erat dengan mengajar. Bertanya, menguji, dan mengkoreksi merupakan tanggung jawab seorang guru. Dengan begitu guru akan tahu sampai dimana hasil mengajar dan belajar siswa.

Karena itu, masing-masing guru mesti mengoreksi dengan betul. Artinya, memberikan hak yang dikoreksi dengan tepat. Jangan sampai zalim. Jika di dalam ruang ujian pengawasannya sudah begitu ketat, sampai tidak ada seorang siswa pun yang dapat menyontek dan berperilaku tidak terpuji, maka selanjutnya guru mengoreksi dengan betul dan jangan sampai curang. Jangan sampai kurang teliti, sehingga yang betul disalahkan dan yang salah dibetulkan. Itu bentuk ketidakjujuran. Setiap guru mesti hati-hati dan takut dosa. Meski tidak ada orang yang tahu selain dirinya, namun Allah SWT Maha Tahu.
Selain itu, dengan mengkoreksi seorang guru juga belajar. Guru akan termotivasi untuk belajar. Guru tidak hanya menilai betul dan salahnya jawaban, tetapi juga ta’bir dan uslubnya juga dinilai. Misalnya, pelajaran Matematika, tidak hanya hasilnya saja yang dinilai namun juga caranya atau rumusnya. Ada yang caranya betul tapi hasilnya salah dan ada pula yang caranya salah namun hasilnya betul. Dalam mengkoreksi Dirasah Islamiyyah yang menggunakan bahasa Arab, shihhatu ta’bir menentukan penilaian. Tidak hanya betul jawabannya saja, namun juga uslubnya diperhitungkan.
Diharapkan koreksi dapat selesai tepat dengan selesainya ujian tahriri. Sebab koreksi pada saat ini tidak terlalu banyak. Berbeda dengan yang lalu-lalu, dimana koreksian sangat banyak. Sekarang ini, paling banyak guru mengkoreksi 15 bundel. Meski ditentukan waktunya namun ketelitian harus tetap terjaga. Ketelitian ini dipengaruhi oleh situasi dan kondisi, seperti keadaan ramai dan sepi, lapang dan sempit, maupun lapar dan kenyang. Untuk itu hendaknya setiap guru yang mengoreksi mencari tempat-tempat yang sepi dan tenang. Karena ketenangan akan mempengaruhi hasil atau betulnya koreksi. Jika mengoreksi sambil menonton sepak bola  di lapangan tentu konsentrasi dalam mengkoreksi akan buyar.
Apalagi di awal-awal mengoreksi harus betul-betul konsentrasi. Mengoreksi pelajaran Insya di hari-hari pertama harus dimulai dengan pelan-pelan. Mungkin pertama-tama mengkoreksi dalam 1 lembarnya dapat selesai 5 menit atau lebih dari itu. Tapi jika sudah masuk lembaran ketiga, keempat dan seterusnya akan bisa lebih cepat karena sudah hapal jawabannya.
Bagaimana mengawasi dan mengkoreksi dengan betul? Sekali lagi, harus jujur, betul dan takut dosa. Jangan zalim meski orang lain tidak mengetahuinya. Allah SWT Maha Tahu. Mengapa selalu kita peringatkan hal-hal seperti ini? Karena setan-setan selalu berupaya mendekati para guru yang mengoreksi. Setan mendekati sambil mengganggu dengan membisiki supaya bosan, jenuh, dan sejenisnya dalam mengoreksi.
Demikian yang harus kita hadapi dalam mengoreksi. Jangan menambah dan mengurangi nilai. Jika nilainya 3, berikan 3, dan jika nilainya 8, berikan 8. Jangan sampai ditambah ataupun dikurangi. Ingat Pondok kita alamnya kejujuran dan keikhlasan. Mudah-mudahan kejujuran dan keikhlasan masih dapat terus kita tegakkan dalam Pondok ini. Sehingga, baik yang diuji maupun yang menguji merasa puas dan tidak terzalimi. Guru merasa puas dan murid pun merasa puas pula. Jangan sampai terjadi dan ada ungkapan-ungkapan “Kok murid saya gak bisa dapat nilai sekian?” atau “Saya bisa menjawab, tapi kok dapat nilai sekian?”

Meneguhkan Tauhid

By on 17.36
KH Hasan Abdullah Sahal

Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor
Meneguhkan TauhidMasalah tauhid, meyakini hanya Satu yang berhak dipertuhankan dan dianggap Tuhan, adalah fitrah manusia. Jadi, ketika manusia diciptakan, ia beriman hanya kepada satu tuhan, yaitu Allah. Kemudian ada tarik menarik dan bisikan-bisikan dari sana sini, khususnya setan dan iblis. Setan di sini termasuk setan keduniaan, setan kekuasaan, setan kemegahan, juga setan syahwat dan lain sebagainya, sehingga manusia terseret  dan beriman kepada banyak tuhan. Manusia takjub dengan alam, akhirnya menganggap alam sebagai tuhannya. Manusia menganggap binatang, laut, api, bahkan sesama manusia sebagai tuhannya. Akhirnya tuhannya menjadi banyak.
Sebetulnya, kalau dia sadar dan kembali kepada fitrah yang pernah dinyatakannya, “Qalu bala, syahidna.” Sewaktu masih di dalam kandungan, manusia sudah menyatakan bahwa tuhan itu hanya Allah. Maka, tidak benar kalau orang mengatakan, manusia itu mula-mula Tuhannya banyak dan akhirnya menjadi satu. Anggapan ini salah. Karena hakikatnya tuhan itu hanya satu, tapi karena keingkaran manusia, maka mereka keliru dan meyakini banyak tuhan.

Persoalan terpenting sekarang adalah bagaimana kita membina tauhid. Selama kita mengatakan Allah di atas kita, tidak ada yang lebih berkuasa selain Allah, tidak ada yang lebih kaya dari Allah, tidak ada yang lebih besar dari Allah, tidak ada yang lebih pintar dan sempurna  dari Allah, maka itulah tauhid. Kita sungguh tidak pantas merasa lebih besar, lebih kaya, lebih tinggi, lebih kuat daripada orang lain, karena semua itu  kita dapatkan dari Allah. Jadi, orang kaya karena dibuat kaya oleh Allah, orang besar karena Allah, orang tinggi karena Allah, orang berilmu karena Allah, dan sewaktu waktu Allah bisa mencabut semua itu. Sehingga kalau ada yang berkata, “saya kaya,” dia sebetulnya hanya merasa kaya, atau orang lain menganggapnya kaya. Sebetulnya apa yang menjadi miliknya adalah apa yang dia berikan dan amalkan. Itulah kekayaan yang sesungguhnya, dan bukan harta yang ia kumpulkan karena harta tersebut akan menjadi milik anak cucunya, milik ahli warisnya. Bahkan, harta tersebut bisa menjadi maksiat bagi dirinya, belum tentu menjadi amal. Maka kita kembalikan semuanya pada Allah, karena Dialah sumber dari segalanya.
Kesalahan dalam masalah ini adalah penyakitnya setan, syiriknya setan dan iblis keduniaan yang membuat banyak manusia mabuk. Ingat, jangan sekali-kali kita berada di pihak setan! Allah mengingatkan kita, semua Bani Adam, dalam Surah Yasin ayat 60, “La ta`budu asy-syaithan innahu lakum `aduwwun mubin (janganlah kalian sembah setan, karena sesungguhnya setan itu musuh kalian yang nyata).” Musuh dijadikan kawan, salah besar! Seharusnya musuh tetap dijadikan musuh. Setan kekayaan, setan kebesaran, setan kemasyhuran, setan ketampanan, setan apa saja itu harus dibersihkan karena kita serahkan semuanya kepada AllahSWT. Apa pun yang kiti miliki, tidak ada gunanya sombong. Karena yang akan dihitung adalah iman dan amal, serta manfaatnya kepada masyarakat, umat, danmanusia di alam semesta ini.
Jika kita baca dan kaji Surah al-`Ashr, itu sudah cukup. “Wal ashri innal insana lafi khusrin, illa alladzina amanu…” Keimanan! Tanpa keimanan, semua hanya omong kosong. Jadi meski orang berjasa; ribuan kilometer jalan dia aspal, ribuan orang sakit dia sembuhkan, ribuan pelajar dia berikan beasiswa, triliyunan uang dia sumbangkan, itu belum tentu jadi amal shalih. Itu mungkin jasa, tapi belum tentu berpahala, karena tidak ada ‘amanu’ (iman). Orang seperti itu dapat disebut orang yang berjasa, tapi belum tentu berpahala.
Kembalikan keimanan dan serahkan segala amal kepada Allah SWT.  Jadi orang melarat, kepada Allah kembalinya.  Jadi orang kaya, juga kepada Allah kembalinya. Jika naik jabatan, serahkanlah pada Allah. Pun jika diturunkan atau dipecat, serahkan juga pada Allah. Bisa jadi orang yang dipecat didunia, lebih tinggi derajatnya daripada orang yang diangkat jabatannya. Masalah terpenting adalah bagaimana kualitas tauhidnya kepada Allah SWT.
Tidak usah takjub dengan orang kaya. Tidak usah takjub dengan orang yang berkuasa. Tidak usah takjub dengan orang yang merasa besar. Tidak usah takjub dengan orang yang ganteng. Tidak usah takjub dengan orang yang cantik. Kenapa? Belum tentu semua itu ada artinya. Belum tentu itu ada harganya. Lagi-lagi mengapa? Sebab hanya Allah sumbernya. Semuanya dari Allah. Jantung yang berdetak, nafas yang menghembus dari hidung kita, itu hanya karena Allah SWT. Kita serahkan totalitas diri kita kepada Allah. Tidak usah silau dengan kemilau emas yang belum tentu itu emas murni. Bahkan, belum tentu yang berkilau itu emas, meski datang dari kekuatan adidaya atau dari seorang yang kita taati. Belum tentu benar. Mungkin itu hanyalah tipuan dunia, omong kosong, atau kehampaan yang dipoles dan dibesar-besarkan, yang sebetulnya tidak ada apa-apanya. Karena yang terpenting, semua itu hanya dari Allah SWT.

Menghargai Pengalaman

By on 17.28
DR KH Abdullah Syukri Zarkasyi MA
 
Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor
Menghargai PengalamanPengalaman adalah guru yang baik. Ungkapan sarat makna ini membuka cakrawala kita agar menimba sebanyak-banyaknya pengalaman dalam hidup ini. Ketika kita menginginkan guru-guru yang baik dan memiliki kualitas mendidik yang mumpuni, maka kita harus menempa dan mengembangkan kemampuan mereka dengan pengalaman-pengalaman tingkat tinggi. Itulah yang selama ini kita lakukan di Gontor. Kita di sini mendidik guru-guru dengan pengalaman memimpin, mendidik, mengajar, dan pelbagai pengalaman lainnya yang luar biasa.

Dalam prosesnya, pendidikan pengalaman ini mutlak memerlukan al-`idad (persiapan), baik i`dad zady (bekal terbaik) maupun i`dad maddy (materi). Di sini, para guru diajarkan agar setiap hendak keluar rumah selalu mengawali dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim. Guru mesti membaca doa. Meski tampak sederhana, fenomena ini jarang berlaku di lembaga pendidikan umum. Kebanyakan guru di lembaga-lembaga umum hanya merasa melaksanakan tugas untuk mendapatkan gaji, sehingga aspek materialismenya kental sekali.
Di Gontor, guru-guru mengajar dengan dua persiapan; pertama, i’dad zady, yaitu sebaik-baik bekal adalah takwa. Kedua, i’dad maddy, yakni menguasai materi yang akan diajarkan, menguasai keadaan murid di kelas, dan mata guru awas dalam mengajar.
Pengalaman demi pengalaman akan dirasakan. Ada murid nakal dan ada juga murid yang tidak mengerti pelajaran yang diajarkan. Semua itu akan membentuk pengalaman tersendiri bagi guru. Kenapa murid tidak masuk kelas? Kenapa pelajaran tidak dimengerti oleh murid? Apa saya salah? Apakah murid tersebut butuh motivasi?
Guru memotivasi murid yang seperti itu agar dia punya motivasi yang kuat dalam belajar. Sehingga, dia mau mendengarkan dengan baik dan belajar dengan sungguh-sungguh. Di sini dapat ditarik kesimpulan sederhana, bahwa sebetulnya jika suatu pendidikan tidak berjalan dengan benar, berarti yang salah adalah guru. Guru tidak dibenarkan berkata tidak mampu mengajar dan mendidik. Karena yang tidak mampu adalah pengecut, tidak berani menangani, tidak punya keinginan menangani dan bersikap masa bodoh.
Mendidik itu membiasakan. Mendidik itu mengajar, memberikan tugas, dan membiasakan diri melatih. Melatih belajar dan cara belajar dengan penuh kesabaran. Jika ada murid yang sulit menghafal dan tidak faham, maka guru mesti mengajarinya sedikit demi sedikit. Guru mesti memberi tahu murid tersebut agar membaca yang ingin dihafal sebanyak mungkin, meski sampai 40 kali, niscaya dia akan hafal. Begitu juga memahami pelajaran, Muthala’ah misalnya, dengan membaca hingga 40 kali maka niscaya ia faham. Kadang-kadang pemahaman didapat dengan sering membaca. Ketika masih belajar di Mesir, saya menemukan sebuah kata yang awalnya tidak saya fahami, namun karena sering membacanya akhirnya saya faham arti kata itu.
Mendidik adalah ‘menyetrum’. Saya berbicara dengan hati bukan dengan mulut. ‘Menyetrum’ guru supaya memahami pondok, memahami pimpinan, memahami apa yang dibicarakan pimipinan, dan kalau bisa mengamalkannya. Efek ’struman’ ini tidak sama, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Sebab, manusia itu bermacam-macam. Ada yang seperti batu keras dan tidak mau mengerti. Ada juga yang laksana tanah subur kemudian faham apa yang diajarkan kepadanya, sehingga ia menumbuhkan pohon dan menghasilkan buah. Dan ada pula yang seperti pohon tertentu yang sulit dimana baru puluhan tahun baru faham.
Sebagai pimpinan Pondok, saya menentukan dan memilih guru. Mudah-mudahan saya tidak salah pilih. Mereka yang terpilih menjadi guru di Gontor bukan karena semata-mata lulus dengan predikat mumtaz (memuaskan). Belum tentu yang mumtaz saya pilih. Kadang yang mumtaz egonya tinggi sekali. Tapi yang saya pilih adalah mereka yang memiliki jiwa kemasyarakatan, bisa mendidik, bisa menimbang kawan, dan tidak egois. Sebab, dalam mendidik diperlukan banyak pengorbanan, banyak kesabaran, dan ketekunan. Jadi saya mencari santri-santri yang tekun dan guru-guru yang tekun. Dari sinilah sebuah pengalaman dan pendidikan kemasyarakatan, serta pendidikan hidup, kita didikkan kepada santri-santri dan guru-guru. Dengan harapan agar mereka menjadi guru yang hebat, sehingga terjadilah proses kaderisasi yang sesungguhnya.

Perjuangan

By on 17.24
KH Hasan Abdullah Sahal

Sulit untuk tidak bersyukur melihat anak-anak, putra-putra umat, jil minal ajyal, generasi yang akan meneruskan estafet perjuangan. Kata perjuangan saat ini sudah jarang digunakan. Bagi banyak orang, zaman ini bukan zaman perjuangan, tapi zaman mencari kesempatan, kesejahteraan, keduniaan, keenakan, dst. Initinya, adalah zaman mencari mata pencaharian.
Sekarang ini yang terjadi semua mencari mata pencaharian. Cari makan, yang dipikir dari udel mengiso, yang dipikir perut ke bawah, jarang yang memikirkan perut ke atas illa man rahima Rabbi, kecuali beberapa gelintir manusia yang mendapat rahmat dari Allah subhanahu wa ta’ala.
PerjuanganKaum santri tidak boleh menjadi kader-kader pencari mata pencaharian. Tapi harus mejadi kader-kader perjuangan. Sejak berdiri tahun 1926 M, Pondok Modern Gontor sudah menanamkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai perjuangan.
Alhamdulillah, anak-anak sudah pada berdisiplin. Menurut laporan insya Allah tidak seperti di tempat lain. Acara hari ini sebetulnya mulai jam 07.00 WIB, tapi karena anak-anak sudah datang sebelumnya maka kita mulai jam 06.50 WIB. Ini biasa. Kalau di luar, acara jam 07.00 WIB, masih dianggap wajar jika dimulai jam 08.00 WIB.
Alhamdulillah, disiplin ini harus kita jalankan. Ingat! Tidak ada kemajuan tanpa kedisiplinan. Tidak ada kedisiplinan tanpa keteladanan. Bersyukur kita punya disiplin yang berlaku untuk kita semua. Anak-anak begitu semangat, bahkan kadang-kadang lupa sama bapak ibunya kalau sudah ada acara.
“Nak, kesini dulu!” bapaknya memanggil.
Ndak Pak, ditunggu di sana.”
“Acara apa?,” Tanya bapaknya lagi.
“Saya ditugaskan jadi pemimpin. Memimpin lari pagi,” jawab Si anak dengan bangganya.
Akan pegang peluit saja lupa bapak ibunya. Sedang bapak ibunya bangga dan senang anaknya memimpin lari pagi. Barangkali mereka menyesal bila tidak membawa kamera, sehingga pada kesempatan berikutnya dating kembali sambil membawa kamera. Maksudnya ingin memotret anaknya, tapi ternyata kali itu yang memimpin lari bukan lagi anaknya, tapi orang lain! Tidak apa-apa.
Memondokkan anak juga perjuangan. Karenanya, bapak-bapak dan ibu-ibu tidak perlu menjenguk anak kecuali terpaksa. Jangan terbalik! Memondokkan anak itu yang benar itu tidak dijenguk. Anak-anak itu malu kalau dijenguk. Anaknya mungkin malah akan berkata, “Bapak ibu gak usah sering-sering ke sini, kayak saya anak kecil saja.” Masalah sebenarnya adalah orangtuanya yang gak kuat menahan rindu, sehingga merasa harus menjenguk.
Orangtua harus sadar, anak-anak Anda yang kecil-kecil, lucu-lucu, yang lincah-lincah itu sudah berpikiran besar! Mereka siap untuk tidak dijenguk kecuali terpaksa. Jangan dibalik, memondokkan anak berarti dijenguk kecuali gak punya duit! Jadi, paradigma lama dengan baru itu berbeda. Anak-anak menjadi menjadi kuat, tegar, tegak, dan istiqamah itu karena mondok. Bukan karena dijenguk!
Kalau anak dijenguk, seminggu pertama terbayang dalam pikirannya, ibu dan bapak sudah sampai di rumah atau belum ya? Pada minggu kedua ia berkata, “Uang jajan sudah mulai habis.” Minggu ketiga, pikirannya melayang, “Kapan ya, ibu dan bapak dating lagi?” Minggu keempat, nah, siap-siap kalau bapak ibu datang, apa saja  akan diminta; sabun, minyak wangi, dll. Minggu kelima, siap-siap nunggu pengumuman, ada pemanggilan tamu atau tidak di gedung Al Azhar sana.
Itu namanya gak mondok. Lupa kegiatan-kegiatan pondok. Anak-anak, sekarang tinggalkan saja yang ada di rumah, kenangan-kenangan lama, kenangan-kenangan liburan! Semua itu kadang-kadang menjadi ‘penyakit’, meski hanya liburan seminggu atau sepuluh hari. Tinggalkanlah!
‘Penyakit-penyakit’ pondok zaman sekarang ini berupa hand phone, game, play station, dan lain-lain. Itu anak-anak kalau main game khusyu sekali. Ibu bapaknya memanjakan lagi. Ini rugi dan merugikan. Anak-anak, mengerjakan sesuatu yang tidak ada gunanya sama saja kekosongan. Itu sama dengan pengangguran. Misalnya, ketika ditanya: “Pak, Bu, Simprul dimana?” “Anu Nak, sibuk dia.” “Sibuk apa?” “Sibuk main karambol.” Atau ketika ditanya, “Sibuk apa?” Lalu dijawab, “Main gaple (kartu),” atau “motor-motoran,” atau “mejeng, “ dll.
Sibuk dengan ‘pekerjaan-pekerjaan’ seperti itu tidak ada gunanya, sama dengan pengangguran. Sibuk dengan sesuatu yang tidak ada gunanya sama dengan kekosongan. Kita mendidik anak-anak ini penuh gerak. Mempunyai inisiatif, mempunyai gerak, mempunyai kegiatan-kegiatan yang berguna. Maka, bapak-bapak dan ibu-ibu, anak-anak kita di sini tetap akan digembleng, akan dibuat sedemikian rupa melebihi daripada yang di luar.