Senin, 20 April 2015

Akhlak

By on 16.49

KH Imam Zarkasyi


AkhlakJika dilihat dari kajian ilmu sosiologi, kata bangsa itu berkaitan erat dengan ras atau suku (race) yang memiliki ciri-ciri khusus dan unik. Misalnya, ada bangsa Negro yang mempunyai rambut keriting dan kulit hitam, bangsa Mongol yang berkulit putih dan bermata sipit, dan seterusnya. Jadi, tiap-tiap bangsa memiliki sifat-sifat dan ciri-ciri tersendiri.
Namun secara historis, tidak ada satu bangsa yang benar-benar asli dan murni. Artinya, mereka bercampur satu sama lainnya. Saat ini sangat sulit untuk menemui bangsa yang dihuni ras atau suku tertentu saja. Secara faktual, bangsa-bangsa itu telah tercampur, ada beberapa bangsa bersatu dalam suatu pemerintahan. Jadi, pengertian Tanah Air, negara, dan bangsa telah melebur menjadi satu, yang kemudian kita kenal dengan istilah nation.
Ada yang mengatakan bahwa bangsa (nation) itu sangat terkait dengan bahasa. Artinya, tiap-tiap kelompok manusia menggunakan bahasa yang sama. Mereka itulah yang dinamakan bangsa (nation). Secara historis, pendapat ini bisa dibilang kurang tepat. Karena banyak kelompok-kelompok manusia yang mempunya bahasa yang sama, tetapi mereka bertentangan dan berperang satu sama lain.
Dalam sejarah kemerdekaan Amerika, kita melihat orang Amerika dan Inggris yang keduanya berbahasa sama ternyata juga saling berperang. Sebaliknya di Swiss, satu negeri kecil, di sana digunakan banyak bahasa: ada bahasa Prancis, bahasa Jerman, dan bahasa Italia. Namun, mereka mampu membentuk satu bangsa yang sempurna. Jadi, kurang tepat juga orang yang mengatakan bahwa bangsa itu terkait dengan bahasa.
Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa bangsa itu terkait dengan agama. Dalam artian, kelompok-kelompok manusia yang beragama sama merupakan entitas suatu bangsa (nation). Sekali lagi, secara historis, pendapat ini tidak betul. Orang Kristen berperang dengan orang Kristen. Kenyataan ini banyak terjadi di Eropa.
Demikian pula dengan orang Islam. Kita melihat pada perang besar pertama, orang Arab berperang dengan orang Turki. Padahal, mereka sama-sama beragama Islam. Bahkan, mereka sama-sama dari Kerajaan Turki. Jadi, agama bukanlah bangsa. Inilah yang sering menjadi pertentangan. Kalau kita tidak paham betul, sedikit atau banyak, akan merugikan perjuangan kita.
Konsep tentang kebangsaan ini sebenarnya sudah lama dibahas para ilmuwan. Peristiwa-peristiwa sejarah diperhatikan betul agar kita dapat mengambil pelajaran dari sejarah. Kemudian, lahirlah teori idealis yang abstrak, penuh makna, tidak dapat kita lihat di alam kebendaan, tetapi mampu membentuk pemikiran dan kejiwaan kita.
Pada tahun 1882, Ernest Renan, seorang ilmuwan dari Prancis, mengatakan bahwa suatu bangsa itu bukan suatu potong tanah, satu bagian dari dunia, bukan suatu ras atau suku dengan ciri-ciri yang unik, bukan bahasa, dan bukan pula agama, tetapi suatu keinsafan atau kemauan untuk hidup bersama.
Jadi, bangsa itu dibangun oleh kelompok-kelompok manusia yang ingin hidup bersama di dalam kemakmuran dan kesempurnaan, baik jasmani maupun rohani. Mereka itulah yang kemudian disebut sebagai bangsa atau nation. Tentu, ada banyak syarat-syaratnya, termasuk bahasa, tempat (tanah), adat kebiasaan, pemerintahan, dan lain sebagainya.
Namun yang paling penting adalah kemauan untuk hidup bersama. Kemauan untuk hidup bersama ini dapat bertambah kuat kalau ada pengalaman atau sejarah yang sudah dialami bersama. Sederhananya, mereka memiliki persamaan nasib. Inilah yang terjadi di negeri kita. Misalnya, Sulawesi, Sumatera, Aceh, semua mempunyai kenang-kenangan yang sama, yaitu berjuang untuk mengusir penjajah. Kemudian, lahirlah bangsa Indonesia.
Kalau kita pandang sepintas lalu, kelihatannya tidak ada hubungan sama sekali antara konsep kebangsaan dengan akhlak. Namun, paham baru ini banyak mempengaruhi pemikiran dan perasaan kita sebagai manusia. Tentu kita harus menyadari kenyataan ini. Karena itu, saya kira perlu untuk disampaikan dan direnungkan bersama-sama.

0 komentar:

Posting Komentar