KH Hasan Abdullah Sahal
Sulit untuk tidak bersyukur melihat anak-anak, putra-putra umat, jil minal ajyal,
generasi yang akan meneruskan estafet perjuangan. Kata perjuangan saat
ini sudah jarang digunakan. Bagi banyak orang, zaman ini bukan zaman
perjuangan, tapi zaman mencari kesempatan, kesejahteraan, keduniaan,
keenakan, dst. Initinya, adalah zaman mencari mata pencaharian.
Sekarang ini yang terjadi semua mencari mata pencaharian. Cari makan, yang dipikir dari udel mengiso, yang dipikir perut ke bawah, jarang yang memikirkan perut ke atas illa man rahima Rabbi, kecuali beberapa gelintir manusia yang mendapat rahmat dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Kaum santri tidak boleh menjadi kader-kader pencari mata pencaharian.
Tapi harus mejadi kader-kader perjuangan. Sejak berdiri tahun 1926 M,
Pondok Modern Gontor sudah menanamkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai
perjuangan.
Alhamdulillah, anak-anak sudah pada berdisiplin. Menurut
laporan insya Allah tidak seperti di tempat lain. Acara hari ini
sebetulnya mulai jam 07.00 WIB, tapi karena anak-anak sudah datang
sebelumnya maka kita mulai jam 06.50 WIB. Ini biasa. Kalau di luar,
acara jam 07.00 WIB, masih dianggap wajar jika dimulai jam 08.00 WIB.
Alhamdulillah, disiplin ini harus kita jalankan. Ingat! Tidak
ada kemajuan tanpa kedisiplinan. Tidak ada kedisiplinan tanpa
keteladanan. Bersyukur kita punya disiplin yang berlaku untuk kita
semua. Anak-anak begitu semangat, bahkan kadang-kadang lupa sama bapak
ibunya kalau sudah ada acara.
“Nak, kesini dulu!” bapaknya memanggil.
“Ndak Pak, ditunggu di sana.”
“Acara apa?,” Tanya bapaknya lagi.
“Saya ditugaskan jadi pemimpin. Memimpin lari pagi,” jawab Si anak dengan bangganya.
Akan pegang peluit saja lupa bapak ibunya. Sedang bapak ibunya bangga
dan senang anaknya memimpin lari pagi. Barangkali mereka menyesal bila
tidak membawa kamera, sehingga pada kesempatan berikutnya dating kembali
sambil membawa kamera. Maksudnya ingin memotret anaknya, tapi ternyata
kali itu yang memimpin lari bukan lagi anaknya, tapi orang lain! Tidak
apa-apa.
Memondokkan anak juga perjuangan. Karenanya, bapak-bapak dan ibu-ibu
tidak perlu menjenguk anak kecuali terpaksa. Jangan terbalik!
Memondokkan anak itu yang benar itu tidak dijenguk. Anak-anak itu malu
kalau dijenguk. Anaknya mungkin malah akan berkata, “Bapak ibu gak usah
sering-sering ke sini, kayak saya anak kecil saja.” Masalah sebenarnya
adalah orangtuanya yang gak kuat menahan rindu, sehingga merasa harus
menjenguk.
Orangtua harus sadar, anak-anak Anda yang kecil-kecil, lucu-lucu,
yang lincah-lincah itu sudah berpikiran besar! Mereka siap untuk tidak
dijenguk kecuali terpaksa. Jangan dibalik, memondokkan anak berarti
dijenguk kecuali gak punya duit! Jadi, paradigma lama dengan baru itu
berbeda. Anak-anak menjadi menjadi kuat, tegar, tegak, dan istiqamah itu
karena mondok. Bukan karena dijenguk!
Kalau anak dijenguk, seminggu pertama terbayang dalam pikirannya, ibu dan bapak sudah sampai di rumah atau belum ya? Pada minggu kedua ia berkata, “Uang jajan sudah mulai habis.” Minggu ketiga, pikirannya melayang, “Kapan ya, ibu dan bapak dating lagi?” Minggu keempat, nah,
siap-siap kalau bapak ibu datang, apa saja akan diminta; sabun, minyak
wangi, dll. Minggu kelima, siap-siap nunggu pengumuman, ada pemanggilan
tamu atau tidak di gedung Al Azhar sana.
Itu namanya gak mondok. Lupa kegiatan-kegiatan pondok.
Anak-anak, sekarang tinggalkan saja yang ada di rumah, kenangan-kenangan
lama, kenangan-kenangan liburan! Semua itu kadang-kadang menjadi
‘penyakit’, meski hanya liburan seminggu atau sepuluh hari.
Tinggalkanlah!
‘Penyakit-penyakit’ pondok zaman sekarang ini berupa hand phone, game, play station,
dan lain-lain. Itu anak-anak kalau main game khusyu sekali. Ibu
bapaknya memanjakan lagi. Ini rugi dan merugikan. Anak-anak, mengerjakan
sesuatu yang tidak ada gunanya sama saja kekosongan. Itu sama dengan
pengangguran. Misalnya, ketika ditanya: “Pak, Bu, Simprul dimana?” “Anu
Nak, sibuk dia.” “Sibuk apa?” “Sibuk main karambol.” Atau ketika
ditanya, “Sibuk apa?” Lalu dijawab, “Main gaple (kartu),” atau
“motor-motoran,” atau “mejeng, “ dll.
Sibuk dengan ‘pekerjaan-pekerjaan’ seperti itu tidak ada gunanya,
sama dengan pengangguran. Sibuk dengan sesuatu yang tidak ada gunanya
sama dengan kekosongan. Kita mendidik anak-anak ini penuh gerak.
Mempunyai inisiatif, mempunyai gerak, mempunyai kegiatan-kegiatan yang
berguna. Maka, bapak-bapak dan ibu-ibu, anak-anak kita di sini tetap
akan digembleng, akan dibuat sedemikian rupa melebihi daripada yang di
luar.
0 komentar:
Posting Komentar